Sabtu, 07 Mei 2016

Demam Ibadah Individual, Lupa Ibadah Sosial



Salah satu warisan almarhum Prof. Dr. KH. Ali Musthafa Ya’qub adalah pemikirannya yang cemerlang. Ia mengingatkan bahwa ibadah sosial jauh lebih penting daripada ibadah individual. Berikut kenangan Sumanto al Qurtuby.
Kolom ini saya buat sebagai semacam “in memoriam” untuk mengenang almarhum Prof. Dr. KH Ali Musthafa Ya'qub (1952 – 2016), mantan Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta, Guru Besar Institut Ilmu Al-Qur'an (IIQ) Jakarta, tokoh Nahdlatul Ulama, dan seorang ulama pakar Hadis dan Ilmu Hadis yang sangat mumpuni dan langka di Indonesia. Ulama kelahiran Desa Kemiri, Kecamatan Subah, Kabupaten Batang, Jawa Tengah, ini juga seorang penulis produktif khususnya di bidang hukum Islam, tafsir Al-Qur'an, dan tafsir Hadis.
Salah satu gagasan dan pemikirannya yang cemerlang, bernas, dan patut direnungkan secara mendalam oleh umat beragama adalah tentang merosotnya spirit atau etos “ibadah sosial” dan meningkatnya atau maraknya perilaku “ibadah personal” atau “ibadah individual” khususnya di kalangan umat Islam, lebih khusus lagi umat Islam di Indonesia.
Menurut Kiai Ali Musthafa yang alumnus Universitas Islam Imam Muhammad Bin Saud dan Universitas King Saud (Riyadh, Arab Saudi) ini, ada dua kategori ibadah dalam Islam, yaitu (1) ibadah qashirah (ibadah individual) yang pahala dan manfaatnya hanya dirasakan oleh pelaku ibadah saja dan (2) ibadah muta'addiyah (ibadah sosial) dimana pahala dan manfaat ibadahnya tidak hanya dirasakah oleh yang bersangkutan tetapi juga oleh orang lain.
Menurut Kiai Ali, contoh “ibadah individual” ini adalah haji, umrah, puasa, salat, dlsb. Sementara contoh “ibadah sosial” adalah menyantuni anak yatim, membantu fakir-miskin, memberi bantuan beasiswa pendidikan, menolong para korban bencana, menggalakkan penanggulangan kemiskinan dan kebodohan, merawat alam dan lingkungan, berbuat baik dan kasih sayang kepada sesama umat dan mahluk ciptaan Tuhan, menghargai orang lain, menghormati kemajemukan, dan masih banyak lagi. Semua itu merupakan bentuk-bentuk ibadah sosial yang memberi manfaat atau kemaslahatan kepada masyarakat banyak.

Ibadah sosial lebih utama daripada ibadah individual
Islam, menurut Kiai Ali, memberikan prioritas pada “ibadah sosial” ini ketimbang “ibadah individual”. Kiai Ali mengutip sebuah Hadis Qudsi yang diriwayatkan Imam Muslim dimana Nabi Muhammad SAW pernah bersabda: “Tuhan (Allah SWT) itu ada—dan dapat ditemui—di sisi orang sakit, orang kelaparan, orang kehausan, dan orang menderita.”
Itulah sebabnya Nabi Muhammad sepanjang hayatnya lebih banyak didedikasikan untuk membela kaum lemah dan tertindas serta melawan keserakahan dan keangkaramurkaan. Beliau lebih banyak menjalankan aneka bentuk ibadah sosial-kemasyarakatan ketimbang ritual-ritual keagamaan yang bersifat personal. Dalam sebuah kaedah fiqih juga dinyatakan: “al-muta'addiyah afdhal min al-qashirah” (ibadah sosial jauh lebih utama daripada ibadah individual).
Prioritas Islam terhadap ibadah sosial daripada ibadah individual ini juga ditegaskan, tersurat, dan tersirat di dalam ribuan ayat-ayat Al-Qur'an yang memberi ruang sangat besar terhadap dimensi-dimensi sosial-kemanusiaan. Aspek-aspek “ritual-ketuhanan” justru mendapat jatah yang sangat sedikit dalam ayat-ayat Al-Qur'an.
Berdasarkan sejumlah fakta dalam Al-Qur'an inilah, ditambah dengan praktik-praktik kenabian, banyak ulama, sarjana, dan pakar Islam yang menyebut Islam sebagai agama pro-kemanusiaan. Pakar kajian Islam dan studi Al-Qur'an seperti mendiang Fazlur Rahman (1919–1988), misalnya, dalam sejumlah karyanya seperti Islam, Prophecy in Islam, atau Major Themes of the Qur'an pernah menegaskan bahwa Islam adalah “agama antroposentris” yang memberi penekanan atau prioritas pada masalah-masalah kemanusiaan universal, dan bukan “agama teosentris” yang berpusat atau bertumpu pada hal-ikhwal yang berkaitan dengan ibadah ritual individual-ketuhanan.

Terperangkap” ke dalam pernik-pernik “ibadah individual”
Meskipun Islam, Al-Qur'an, dan Nabi Muhammad SAW, jelas-jelas memberi ruang yang sangat besar pada masalah-masalah “ritual kemanusiaan” universal; umat Islam, sayangnya, justru lebih sibuk memikirkan dan mempraktikkan aneka “ritual ketuhanan” partikular. Meskipun Islam menegaskan ibadah sosial jauh lebih utama ketimbang ibadah individual, (sebagian) kaum Muslim malah “terperangkap” ke dalam pernik-pernik “ibadah individual”.
Kaum Muslim begitu hiruk-pikuk dan semangat menggelorakan pentingnya haji, salat, puasa, zikir di masjid, dan semacamnya, tetapi melupakan kemiskinan global, kebodohan massal, penderitaan publik, keamburadulan tatanan sosial, kehancuran alam-lingkungan, korupsi akut yang menggerogoti institusi negara dan non-negara, dlsb. Umat Islam begitu bersemangat naik haji berkali-kali atau umrah bolak-balik dan mondar-mandir ke Mekkah dan Madinah, tidak mempedulikan besarnya biaya, tetapi mereka pikun dan tutup mata dengan aneka persoalan sosial-kemanusiaan yang menggunung di depan matanya.
Umat Islam sibuk mengejar “kesalehan individual” dengan menghadiri beragam pengajian spiritual tetapi mengabaikan “kesalehan sosial” dan absen menghadiri “pengajian sosial” dengan blusukan ke tempat-tempat kumuh untuk menyambangi umat yang menderita dan kelaparan. Umat Islam rajin menumpuk pahala akhirat bak “pedagang spiritual” tetapi rabun bin pikun dengan problem sosial-kemasyarakatan yang ada di sekelilingnya. Umat Islam begitu sibuk “memikirkan” Tuhan, padahal Tuhan sendiri—seperti ditunjukkan dalam berbagai Firman-Nya dalam Al-Qur'an dan dalam Hadis Qudsi tadi—begitu “sibuk” memikirkan manusia.
Saya menyebut fenomena di atas sebagai bentuk keberagamaan yang egoistik atau individualistik yang hanya mementingkan diri-sendiri dan demi mengejar kebahagiaan dan keselamatan dirinya sendiri kelak di alam akhirat, sementara cenderung bersikap masa bodoh atau acuh dengan berbagai kebobrokan, penderitaan, ketimpangan, ketidakadilan, dan kesemrawutan yang menimpa umat manusia di alam dunia ini. Umat Islam “pemburu surga” yang egois-individualis dan “salah jalan” inilah yang menjadi sasaran kritik Kiai Ali Musthafa. Semoga beliau damai di alam baka.

Penulis:
Sumanto al Qurtuby, Staf Pengajar Antropologi Budaya dan Kepala General Studies Scientific Research, King Fahd University of Petroleum and Minerals, Arab Saudi.

Rabu, 04 Mei 2016

I know you are tired but come, this is the way

Dengan cara apapun menjalani hidup, kita akhirnya 'pulang' dengan hati rela melepas semuanya atau masih dengan menyimpan keduniawian.

Ketika mempelajari dan berusaha mengikuti bimbingan di jalan ini, aku sering letih. Banyak hal yang kadang terasa menakutkan, dan lebih banyak lagi yang tak kupahami dan banyak pula hal yang membuat lelah karena pada akhirnya perang "di dalam" tak pernah berhenti.

Sesekali tergoda untuk berhenti namun nasihat mengingatkan pada banyak hal yang telah kulalui dan alami. Meski lelah aku mencoba berjalan walau terseok dan kerap jatuh.

Bercanda, mendengarkan musik, membaca dan Menulis adalah salah satu cara meredakan lelah itu. Khususnya menulis adalah semacam terapi, juga mengawetkan kenangan yang baik, entah itu ingatan tentang pengetahuan teori atau pengalaman. Menulis kadang membuat kita bisa melihat kesalahan.

Kini aku mengerti kenapa dulu salah satu orang yang arif menyuruhku menulis. "Engkau mungkin salah dalam memahami dan menuangkan gagasan, tetapi tidak mengapa. Yang penting selalu mengakui pemahamanmu bisa salah. Nanti akan ada hikmahnya. Menulislah." Kira-kira begitu pesannya.

Setelah lima tahun menulis satu per satu hikmah datang walau terasa pelan karena aku tak peka betul memahami tanda. Sejak itu aku kehilangan minat berdebat. Salah satu hikmah adalah kini lebih suka belajar mendengar, bukan untuk membantah namun untuk belajar, angon rasa, belajar menjadi manusia, belajar baik kepada Tuhan, sesama manusia, dan baik kepada diri sendiri.

Bingung



Dimanakah aku tempatkan perasaan ku saat ini
Ketika otak dan hatiku tak mau menyimpannya

Berada dititik yang paling bawah dari emosiku
Membuat ku seperti kehilangan kesadaran
Terkadang sedih begitu menyayat... Terkadang tertawa begitu senang

Aku tidak suka saat seperti ini, ketika aku berada di jalan yang aku sendiri tidak tahu kemana arahnya...... aku ingin berhenti tapi kaki ini terus melangkah tak mengerti lelahku

Aku tidak mengerti perang batin kembali dimulai, tanpa bisa kucegah.
Begitu ramai dan riuh di dalam tapi begitu senyap diluar, tertutup rapat.
Jalan apakah ini?? Benarkah ini jalanku?? Adakah yang bisa menuntunku??

Jumat, 22 April 2016

Design Marketland





Pada awalnya......,
Semua orang bangga dengan pilihannya.
Tapi pada akhinya......,
Tidak semua orang setia pada pilihannya.
Saat ia sadar bahwa yang dipilih mungkin,
tidak sepenuhnya seperti yang diimpikan.....
Karena yang tersulit dalam hidup, bukanlah memilih...
Tapi bertahan pada pilihan.
Sedikit waktu mungkin sudah cukup,
Untuk menentukan pilihan....
Tapi untuk bertahan pada pilihan tersebut,
Mungkin harus menghabiskan sisa usia yang dimiliki.

Kamis, 03 Desember 2015

Baper alias Bawa Perasaan

Baper adalah gejala ketika seseorang terlalu terbawa oleh, atau tenggelam dalam,  perasaan sehingga kehilangan sebagian dari daya nalarnya atau daya kritisnya. Dalam bahasa umum, ini adalah gejala yang dalam falsafah jawa disebut rumangsa bisa nanging ora bisa rumangsa, “terlalu merasa bisa, merasa punya, merasa paling ini dan itu tapi tidak bisa mengukur diri, tidak tahu diri.”
Perasaan itu ndak ada parameter objektifnya kecuali ketika perasaan itu dihadapkan dengan fakta. Ya boleh saja, misalnya, merasa diri memiliki kegantengan maksimal, meski faktanya ketika engkau berpose dalam foto bersama kawan-kawan, kehadiranmu justru merusak pemandangan. Atau misalnya, karena engkau terlalu sering nonton bokep, maka melihat croping foto selfie wajah wanita dengan kepala agak menengadah dengan ekspresi merem dan bibir rada merekah, engkau merasa mukanya adalah muka ramah syahwat, padahal sebenarnya dia sedang selfie saat bebelen dan susah mengeluarkan tinjanya. Nah, itu contoh ringan bagaimana baper bisa membiaskan persepsi kita.
Dalam skala yang lebih serius, khususnya dalam konteks catut-mencatut ini, baper berpotensi melahirkan daya rusak yang tinggi pada kualitas mental dan spiritual manusia. Berdasarkan pengamatan selama beberapa pekan terakhir, paling tidak ada tiga kategori baper yang menimbulkan tindakan mencatut dan berpotensi destruktif bagi kemaslahatan hidup.
Pertama, baper saat menyampaikan apa yang dirasakan dan dianggapnya sebagai sesuatu yang benar.
Karena merasa benar dalam menyampaikan kebenaran, maka ia lupa  bahwa kebenaran itu ada banyak segi ketika berada dalam ranah pemahaman manusia. Dan walaupun misalnya yang disampaikan adalah kebenaran, tetapi jika disampaikan dengan cara yang tidak benar, itu pun bisa menjadi masalah. Tetapi, orang yang  bapernya terlalu merasa sudah paling benar seringkali mengabaikan fakta bahwa cara penyampaiannya tak benar dan  bisa sangat menyakiti banyak orang. Celakanya, karena sudah merasa benar dan sah, maka ia lantas mengatasnamakan diri sebagai otoritas kebenaran–bahasa lainnya, ia mencatut anggapannya sendiri tentang kebenaran sebagai kebenaran mutlak.
Orang seperti ini, walau kemudian terbukti bersalah, atau menyakiti orang, akan sulit minta maaf. Ia akan punya banyak alasan untuk berkelit, kalau perlu menyertakan dalil atau ayat ilahiah yang berjubel-jubel.
Kedua, baper yang lebih spiritual karena berkaitan langsung dengan ketuhanan.
Ada sebagian orang yang banyak ibadah, dan bahkan saking taatnya beribadah ia merasa harus “mengibadahkan” semua hal: dari pakaian, bahasa, sampai ritual, berdasarkan penafsirannya sendiri tentang hal-hal yang diridhoi Tuhan, hingga ke titik ia baper yang ilahiah: merasa tahu persis apa yang dikehendaki Tuhan.
Ia lalu mendefinisikan Tuhan, dan kehendak-Nya, adalah begini dan begitu. Jika baper ini tak terkendali, ia akan berani mencatut nama Tuhan demi menguatkan penafsirannya. Ia merasa tahu bahwa karena Tuhan memiliki sifat begini maka akan begini, dan biasanya apa-apa yang dianggap baik akan dinisbahkan untuk mendukung penafsiran dirinya dan lupa bahwa Tuhan tidak tergantung pada anggapan manusia.
Untuk jelasnya ada kisah satire bagus dari kaum sufi tentang bagaimana baper dalam memahami ketuhanan ini bekerja menipu seseorang hingga ia merasa seolah-olah Tuhan selalu mendukung dirinya:
Seorang sarjana agama mengadakan perjalanan bersama seorang fakir naik perahu menyeberang lautan. Lalu tiba-tiba datang badai besar, menyebabkan perahu yang tidak begitu besar itu pontang-panting diayun ombak besar. Sarjana agama itu tampak tenang, khusyuk berdoa, sedangkan sang fakir menggigil ketakutan di buritan.
Melihat kawannya ketakutan, sang sarjana agama berkata kepadanya, “Jangan takut, Sobat, Allah Maha Besar, lebih besar dari ujian ini.”
Sang fakir menjawab dengan gemetar, “Iya, Allah Maha Besar, tapi perahu ini kecil …”
Sarjana itu kemudian berusaha menenangkannya lagi, bicara tentang pentingnya iman kepada kekuasaan dan kebaikan Tuhan. “Jangan berlebihan takutmu. Apakah engkau tidak pernah membaca bahwa Allah adalah Maha Dermawan? Allahu Kariim.”
Sang fakir menjawab, masih dengan menggigil, “Itulah persisnya yang aku takutkan. Allah Maha Dermawan, dan bisa saja karena begitu dermawannya pada semua makhluk, Dia memberi makan ikan hiu dengan mayat kita…”
Jadi dalam baper kedua ini, orang akan merasa paling didukung Tuhan, sehingga ia bersikap seolah-olah membatasi Rahmat dan Kedermawanan-Nya hanya berlaku untuk dirinya sendiri. Dengan kata lain, ia merasa lebih mulia daripada makhluk lain karena merasa lebih dekat. Pada gilirannya, dia merasa keinginannya akan selalu dikabulkan Tuhan, atau keinginannya sudah sama dan sebangun dengan keinginan Tuhan– tanpa sadar ia telah mencatut nama Tuhan untuk egonya,
Ketiga, baper asmara. Ini berpotensi merusak kemampuan untuk mendapatkan pasangan.
Ada dua gejalan dalam baper jenis ini. Pertama-tama, karena baper, kadang ketika ada orang lain memberi perhatian lantas ditafsirkan orang itu mulai menyukai dirinya, padahal boleh jadi memang orang itu suka perhatian kepada semua orang, bukan hanya pada si aktivis baper itu. Jika kemudian aktivis baper tahu perhatiannya tak hanya kepada dirinya saja, boleh jadi ia sangat kecewa, lalu ngenes karepe dewe. Kedua, baper yang menyebabkan dirinya menjadi   jomblo yang sejak dalam pikiran merasa kejombloannya akan tambah lama. Biasanya ini terjadi ketika orang mulai suka pada seseorang tetapi terlalu merasa dirinya tidak pantas, sehingga yakin cintanya bertepuk sebelah tangan. Jika bapernya tambah akut, ia akan merasa sudah ditolak bahkan sebelum menyatakan cintanya. Istilah mistisnya adalah “jomblo sakdurunge winarah.” Jika gejala ini ndak sembuh-sembuh, insya Allah ia akan awet dalam kesendirian.
Demikianlah, tanpa sadar ia mencatut prasangkanya sendiri yang menyebabkan status lajangnya susah berubah.
Jadi, baper berpotensi destruktif dalam tiga aspek fundamental dalam kehidupan manusia. Baper yang tak terkendali bisa merusak relasi sesama manusia (hablum minannas), merusak relasi dengan Tuhan (hablum minallah) dan merusak relasi asmara. Waspadalah!